Jakarta , 29 April 2024 – dalam dunia fiksi, sosok Batman sering dianggap sebagai ikon keadilan yang melawan kejahatan dengan kekuatan dan keberanian. Namun, di balik aksinya yang heroik, terdapat pertanyaan yang mendalam tentang etika dan moralitas yang mendasari tindakan seorang pahlawan seperti Batman. Salah satu aspek yang sering diperdebatkan adalah praktik “main hakim sendiri” yang dilakukan olehnya.
Batman, atau Bruce Wayne, adalah seorang miliarder yang memilih untuk menggunakan kekayaan dan keahliannya untuk melawan kejahatan di Gotham City setelah mengalami tragedi kehilangan orangtua akibat kejahatan. Tanpa memiliki kekuatan super, Batman mengandalkan keterampilan fisik, kecerdasan, dan teknologi canggih untuk menghadapi penjahat.
Namun, di balik tindakannya yang mulia, Batman seringkali dianggap sebagai pihak yang melanggar hukum dengan melakukan tindakan “main hakim sendiri”. Batman seringkali bertindak di luar sistem hukum yang berlaku, menangkap, menginterogasi, bahkan menghukum para penjahat tanpa proses hukum yang adil. Beberapa pihak berpendapat bahwa tindakan ini diperlukan karena kelemahan sistem hukum yang sering kali tidak mampu menangani kejahatan dengan efektif. Namun, pihak lain mengatakan bahwa tindakan main hakim sendiri ini menciptakan paradoks moral dan melemahkan fondasi keadilan yang seharusnya dijunjung tinggi.
Selain itu, timbul pertanyaan mengenai kewenangan moral Batman dalam melaksanakan tindakannya. Meski ia memiliki motivasi yang mulia dan keahlian yang luar biasa, hal tersebut tidak secara otomatis memberinya hak untuk bertindak di luar batas hukum yang berlaku. Tindakan yang dilakukannya mungkin dianggap membawa keadilan oleh sebagian orang, namun bisa juga diinterpretasikan sebagai pelanggaran terhadap prinsip-prinsip moral yang mendasari sistem hukum dan keadilan.
Dalam konteks hukum Indonesia, tindakan main hakim sendiri dapat dipidana berdasarkan Pasal 351 KUHP tentang Penganiayaan, dan pasal 354 KUHP tentang penganiayaan berat. Meskipun Batman mungkin memiliki niat baik dan bertujuan untuk melindungi masyarakat, tindakannya bisa jatuh dalam kategori ini. Pasal 170 ayat (1) KUHP menetapkan hukuman penjara maksimal lima tahun enam bulan bagi mereka yang melakukan kekerasan secara bersama-sama terhadap orang atau barang. Dalam konteks fiksi, Batman, yang kerap menggunakan kekerasan dalam menangkap penjahat, dapat dianggap melanggar pasal ini.
Sementara itu, Pasal 351 ayat (1) hingga ayat (3) KUHP mengatur tentang tindak penganiayaan, dimana Batman dalam usahanya menangkap penjahat sering kali harus menggunakan kekerasan fisik yang dapat dikategorikan sebagai penganiayaan. Jika tindakan tersebut menyebabkan luka berat atau kematian, maka hukuman yang diterima dapat lebih berat. Lebih lanjut, Pasal 354 KUHP membahas tentang penganiayaan berat, yang mana jika Batman sengaja menyebabkan luka berat pada seseorang, dia dapat dihukum dengan hukuman penjara maksimal delapan tahun. Dan jika tindakannya mengakibatkan kematian, maka hukuman yang diberikan bisa mencapai sepuluh tahun penjara.
Jadi, walaupun Batman mungkin dipandang sebagai simbol keadilan dan pahlawan oleh sebagian masyarakat, dalam kerangka hukum yang berlaku, aksi-aksi yang dilakukannya dapat ditafsirkan sebagai bentuk dari “berperan sebagai main hakim sendiri”. Ini berarti bahwa, meskipun niatnya mungkin baik, Batman secara teknis melanggar hukum dengan mengambil tindakan tanpa otoritas hukum yang sesuai.