Jakarta, 6 Mei 2024 – Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), perselingkuhan didefinisikan sebagai tindakan yang melibatkan ketidakjujuran atau penggelapan demi kepentingan pribadi. Biasanya, ini berkaitan dengan hubungan asmara yang dijalin seseorang di luar pernikahan yang sah. Di Indonesia, perselingkuhan dianggap sebagai tindak pidana. Meskipun istilah ini tidak secara spesifik diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) lama, tindakan perselingkuhan yang melibatkan persetubuhan dapat dikenai Pasal 284 KUHP Lama.
Selain itu, Rancangan Undang-Undang KUHP juga mengatur tentang tindak pidana perselingkuhan dalam Pasal 411. Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) telah mengesahkan Rancangan Undang-Undang KUHP menjadi Undang-Undang pada tanggal 6 Desember 2022, menggantikan terminologi “RUU KUHP” dengan “KUHP Baru”. Ini merupakan momen penting dalam evolusi hukum pidana di Indonesia, dengan KUHP Baru yang akan diberlakukan pada tahun 2026 setelah periode penyesuaian selama tiga tahun.
Perubahan dalam KUHP tidak hanya mencakup perubahan terminologi, tetapi juga mengeliminasi pemisahan antara kejahatan dan pelanggaran, dengan kedua kategori tersebut kini digabungkan dalam istilah “tindak pidana”. Meskipun istilah perselingkuhan tidak diatur secara eksplisit dalam KUHP Lama maupun KUHP Baru, namun kedua peraturan tersebut mengatur tentang perbuatan perselingkuhan yang melibatkan persetubuhan, yang dapat dikenai pasal perzinaan. Selain itu, terdapat perbedaan ketentuan tertentu antara kedua versi KUHP tersebut.
Pasal 284 KUHP Lama, yang terdapat dalam Bab XIV mengenai kejahatan terhadap kesusilaan, menetapkan hukuman bagi tindak pidana perselingkuhan. Ayat (1) dari pasal tersebut menyatakan bahwa pidana penjara paling lama sembilan bulan dikenakan kepada pria menikah yang melakukan perselingkuhan, dengan pengetahuan bahwa pasal 27 BW berlaku bagi dirinya, wanita menikah yang melakukan perselingkuhan, pria yang terlibat dalam perselingkuhan, mengetahui bahwa wanita yang bersamanya telah menikah, dan wanita lajang yang terlibat dalam perselingkuhan, mengetahui bahwa pria yang bersamanya telah menikah dan pasal 27 BW berlaku bagi dirinya.
Berdasarkan ketentuan yang ada, perselingkuhan yang melibatkan hubungan seksual dapat dijerat dengan hukum pidana. Namun, perselingkuhan yang tidak melibatkan hubungan seksual, seperti aktivitas dalam dunia maya, berkencan, makan bersama, atau bertukar hadiah, tidak termasuk dalam ranah hukum pidana. Walaupun demikian, tindakan perselingkuhan, meskipun tidak melibatkan hubungan seksual, tetap merupakan perbuatan yang tidak etis dan tercela.
Dalam hukum pidana, perselingkuhan dianggap sebagai delik aduan absolut, yang berarti penuntutan hanya dapat dilakukan jika ada pengaduan dari pihak yang dirugikan serta delik ini membutuhkan aduan sebagai syarat mutlak untuk penuntutan. Pasal 284 ayat (2) KUHP Lama menegaskan bahwa penuntutan atas perselingkuhan hanya dapat dilakukan atas pengaduan dari suami atau istri yang merasa tercemar, dan harus diikuti dengan permintaan perceraian atau pemisahan dalam waktu tiga bulan jika pasal 27 BW berlaku. Ini menandakan bahwa tanpa aduan yang resmi, tindak pidana perselingkuhan tidak akan bergerak menuju proses hukum pidana.
KUHP Baru, yang akan diberlakukan pada tahun 2026, mempertahankan konsep delik aduan absolut dari KUHP Lama, namun memperluas siapa yang dapat membuat aduan. Pasal 411 KUHP Baru memungkinkan suami atau istri yang dirugikan, serta orang tua atau anak dari individu yang belum menikah, untuk mengajukan aduan. Selain itu, KUHP Baru mengecualikan beberapa ketentuan umum delik aduan dan memperbolehkan penarikan pengaduan sebelum sidang pengadilan dimulai.
Dalam hukum acara pidana, aturan spesifik telah ditetapkan mengenai siapa yang berhak melapor dan bukti apa yang diperlukan untuk kasus perzinaan. Bukti yang dianggap sah meliputi keterangan saksi, ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa. Hukum juga telah berkembang untuk mengakomodasi bukti elektronik, seperti informasi dan dokumen digital, dalam proses hukum.
Perubahan ini mencerminkan respons terhadap dinamika sosial dan kebutuhan hukum masyarakat saat ini, menunjukkan adaptasi hukum pidana Indonesia terhadap perkembangan teknologi dan perubahan sosial. Oleh karena itu, pemahaman yang mendalam tentang pengaturan tindak pidana perselingkuhan dalam KUHP Baru menjadi penting, karena memiliki dampak signifikan pada sistem hukum pidana di Indonesia.