You are currently viewing Sanksi Hukum untuk Penadah Barang Curian

Sanksi Hukum untuk Penadah Barang Curian

Jakarta, 19 Juni 2024 – Hai Sobat Awal! Baru-baru ini sedang ramai diperbincangkan sebuah daerah di Jawa Tengah yang diduga menjadi kawasan penadahan kendaraan curian. Kecurigaan ini mencuat setelah seorang pengusaha rental mobil kehilangan nyawanya akibat menjadi korban main hakim sendiri saat mencoba mengambil kendaraannya dari penyewa di desa tersebut. Dugaan tersebut semakin mencuat ketika pihak kepolisian menemukan puluhan kendaraan bermotor tanpa surat-surat resmi di rumah warga setempat, yang semakin menguatkan dugaan adanya praktik penadahan barang curian di daerah tersebut.

Lalu bagaimana perspektif  hukum mengenai penadahan barang curian dan bagaimana penerapan hukumnya di Indonesia? Simak penjelasannya sebagai berikut 

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), penadah adalah individu yang menerima atau memperjualbelikan barang-barang curian. Dalam konteks hukum, seseorang dapat dianggap sebagai penadah barang curian jika memenuhi unsur-unsur dalam Pasal 480 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP):

 Unsur-unsur tersebut mencakup tindakan membeli, menyewa, menukar, menerima gadai, menerima hadiah, menarik keuntungan, menjual, menyewakan, menukarkan, menggadaikan, mengangkut, menyimpan, atau menyembunyikan barang yang diketahui atau seharusnya diduga berasal dari tindak kejahatan penadahan.

Lebih lanjut, Pasal 480 KUHP menyatakan bahwa penadah barang curian diancam dengan pidana penjara hingga empat tahun atau denda maksimal sembilan ratus rupiah. Namun, untuk penadah barang curian ringan, sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 482 KUHP, ancaman hukumannya adalah pidana penjara paling lama tiga bulan atau denda maksimal sembilan ratus ribu rupiah.

Penadah ringan adalah mereka yang menerima barang curian dengan nilai tidak lebih dari Rp2,5 juta, sesuai dengan Pasal 364 KUHP juncto Pasal 1 PERMA 2/2012. PERMA 2/2012 menetapkan bahwa nilai “dua ratus lima puluh rupiah” dalam beberapa pasal KUHP, termasuk Pasal 364, 373, 379, 384, 407, dan 482, harus dibaca sebagai Rp2,5 juta.

Terkait pencurian ringan, konsiderans poin b PERMA 2/2012 menyatakan bahwa penyesuaian nilai uang dalam KUHP dengan kondisi saat ini memungkinkan penanganan tindak pidana ringan dilakukan secara proporsional. Mengingat ancaman hukuman maksimalnya hanya tiga bulan penjara, tersangka atau terdakwa tidak dapat ditahan, dan pemeriksaan dilakukan melalui Acara Pemeriksaan Cepat. Selain itu, kasus-kasus tersebut tidak dapat diajukan ke tingkat kasasi.

Sementara itu, dalam UU 1/2023 atau KUHP Baru, tindak pidana penadahan diatur dalam Pasal 591 hingga Pasal 593. Ketentuannya mencakup hal-hal berikut:

  1. Pidana Penadahan Umum: Tindak pidana penadahan diancam dengan pidana penjara paling lama 4 tahun atau denda kategori V (maksimal Rp500 juta). Tindak pidana penadahan meliputi tindakan membeli, menawarkan, menyewa, menukarkan, menggadaikan, mengangkut, menyimpan, atau menyembunyikan barang yang diketahui atau patut diduga diperoleh dari tindak pidana; atau menarik keuntungan dari barang yang diketahui atau patut diduga diperoleh dari tindak pidana (Pasal 591 UU 1/2023).
  1. Pidana Tambahan bagi Pelaku yang Menjadikan Penadahan sebagai Kebiasaan atau Mata Pencaharian:

Jika penadahan dijadikan kebiasaan, pelaku dapat dipidana penjara paling lama 6 tahun atau denda maksimal kategori V (Rp500 juta). Jika penadahan dijadikan mata pencaharian, pelaku dapat dijatuhi pidana tambahan berupa pencabutan hak (Pasal 592 UU 1/2023), meliputi:

  •      Hak memegang jabatan publik atau jabatan tertentu.
  •      Hak menjadi anggota TNI atau polisi.
  •      Hak memilih dan dipilih dalam pemilihan umum.
  •      Hak memperoleh pembebasan bersyarat.

Jika tindak pidana penadahan dilakukan dengan barang yang nilainya tidak lebih dari Rp500 ribu, pelaku akan dikenakan pidana karena penadahan ringan. Hukuman yang dapat dijatuhkan adalah pidana denda dengan kategori II, yang maksimal mencapai Rp10 juta. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 593 UU 1/2023, yang menggarisbawahi bahwa meskipun nilai barang yang ditadah relatif kecil, pelaku tetap harus mempertanggungjawabkan perbuatannya secara hukum.