Jakarta, 5 Mei 2024 – Halo Sobat Awal, tahukah kalian apa perbedaan Common Law dan Civil Law? Common Law dan Civil Law adalah dua sistem hukum utama yang diterapkan di berbagai negara di dunia. Common Law, berasal dari Inggris, didasarkan pada preseden atau putusan pengadilan sebelumnya dan digunakan di negara-negara seperti Amerika Serikat, Inggris, dan negara-negara persemakmuran. Di sisi lain, Civil Law, yang berakar dari Hukum Romawi dan berkembang di Eropa Kontinental, mengutamakan kode dan aturan tertulis yang komprehensif, seperti di Jerman, Prancis, dan banyak negara Eropa serta Amerika Latin.
Civil Law adalah sistem hukum tertua dan paling berpengaruh di dunia, berasal dari tradisi Roman-Germania. Pada abad ke-6, Kaisar Yustinus mengkodifikasikan hukum Romawi dalam “Corpus Juris Civilis”. Sistem hukum ini menyebar bersama meluasnya Kerajaan Romawi dan digunakan sebagai dasar hukum nasional negara-negara Eropa. Contoh penerapan sistem ini adalah Code Napoleon di Prancis (1804) dan Civil Code di Jerman (1896).
Sebaliknya, Common Law didasarkan pada tradisi, kebiasaan, dan preseden yang digunakan oleh hakim untuk menyelesaikan masalah. Sistem ini bersifat evolusioner, berkembang melalui keputusan-keputusan pengadilan yang membentuk dasar hukum yang fleksibel namun terkadang kurang memberikan kepastian hukum.
Menurut Hardijan Rusli (1996), terdapat empat kelompok sistem hukum yaitu Civil Law, Socialist Law, Common Law, dan other conceptions of Law. Namun, hanya dua kelompok hukum yang dominan, yaitu Civil Law dan Common Law. Hal ini sejalan dengan pendapat Satjipto Rahardjo (1991) yang menyatakan bahwa di dunia ini tidak ada satu sistem hukum saja, melainkan lebih dari satu. Saat ini, kita mengenal dua sistem hukum utama: Civil Law System dan Common Law System.
Sistem Common Law bersumber dari hukum Inggris yang berkembang dari ketentuan atau hukum yang ditetapkan hakim dalam keputusan-keputusannya (judge-made law). Istilah Common Law berasal dari ‘comune, ley’, yang berarti adat kebiasaan umum, bukan hanya kebiasaan setempat/lokal (Widodo, 2010). Sementara itu, Civil Law Sistem awalnya merupakan sistem hukum Eropa benua atau daratan yang dianut oleh banyak negara melalui proses penyebaran tertentu. Negara-negara penganutnya dimasukkan ke dalam kelompok Civil Law System, yang modal dasarnya adalah hukum Romawi-Jerman dan hukum Gerejani yang mengalami evolusi sejak Eropa memasuki zaman Renaisans pada akhir abad XI atau abad XII, dan terus berlangsung sampai zaman Modern (Triningsih, 2015).
Sumber Hukum
Pada sistem Common Law, putusan hakim memiliki peran sentral dan berfungsi sebagai panduan dalam kasus-kasus mendatang. Hukum ini bersifat evolusioner dan berkembang melalui keputusan pengadilan. Sebaliknya, Civil Law mengandalkan undang-undang dan kode yang dirancang secara sistematis oleh legislatif. Hakim dalam sistem ini berperan sebagai penerap hukum yang sudah ada, bukan pembuat hukum.
Common Law didasarkan pada putusan hakim (judicial decisions) yang mewujudkan kepastian hukum, meskipun tetap mengakui peraturan yang dibuat oleh legislatif. Sedangkan Civil Law berbasis pada hukum tertulis (written law), yang menjadi sumber hukum adalah undang-undang yang dibentuk oleh legislatif dan kebiasaan yang hidup di masyarakat selama tidak bertentangan dengan peraturan yang ada.
Menurut Nurul Qamar (2010), sistem Civil Law menggunakan kodifikasi sebagai sumber hukum. Kodifikasi diperlukan untuk menciptakan keseragaman hukum di tengah keberagaman hukum dan untuk memastikan kebiasaan yang ditetapkan menjadi hukum yang berlaku secara umum. Nurhardianto (2015) menjelaskan bahwa hukum Civil Law memperoleh kekuatan mengikat karena diwujudkan dalam peraturan tertulis dan tersusun secara sistematik dalam kodifikasi. Kepastian hukum hanya dapat terwujud jika tindakan hukum manusia diatur dengan peraturan tertulis. Hakim dalam sistem ini hanya berfungsi menetapkan dan menafsirkan peraturan dalam batas wewenangnya, dan putusannya hanya mengikat para pihak yang berperkara (Doktrin Res Ajudicata).
Sistem Common Law juga menggunakan yurisprudensi sebagai sumber hukum. Menurut Soebekti dalam Simanjuntak (2019), yurisprudensi adalah putusan hakim yang tetap dan dibenarkan oleh Mahkamah Agung (MA) sebagai pengadilan kasasi, atau putusan MA yang tetap. Mahadi dalam Simanjuntak (2019) menjelaskan bahwa yurisprudensi bukan sekadar keputusan hakim, melainkan hukum yang terbentuk dari keputusan-keputusan hakim.
Peran Hakim dan Proses Pengadilan
Dalam sistem Common Law, hakim memiliki peran aktif dalam menginterpretasikan hukum dan dapat menciptakan hukum baru melalui putusannya. Mereka berfungsi sebagai arbitrator yang memastikan keadilan berdasarkan preseden. Sebaliknya, dalam sistem Civil Law, hakim berperan lebih sebagai administrator yang menerapkan aturan yang ditetapkan oleh legislator. Proses pengadilan dalam Civil Law cenderung lebih inquisitorial, di mana hakim memimpin penyelidikan, sementara dalam Common Law, prosesnya lebih adversarial, dengan pengacara yang berperan besar dalam menyajikan kasus di hadapan hakim atau juri.
Dalam sistem Civil Law, hakim tidak terikat pada preseden atau doktrin stare decisis, sehingga undang-undang menjadi rujukan utama. Hakim memiliki keleluasaan untuk memutus perkara tanpa harus mengikuti putusan sebelumnya, dengan aturan parlemen sebagai pegangan utama.
Sebaliknya, sistem Common Law menganut doktrin stare decisis atau preseden, yang berarti hakim harus mengikuti putusan pengadilan terdahulu untuk kasus serupa. Dalam sistem ini, pengadilan memiliki otoritas hierarkis, di mana pengadilan yang lebih rendah harus mengikuti putusan pengadilan yang lebih tinggi dalam kasus yang serupa.
Fleksibilitas dan Kepastian Hukum
Sistem Common Law lebih fleksibel karena dapat beradaptasi dengan perubahan masyarakat melalui preseden, namun ini juga dapat menimbulkan ketidakpastian karena hukum dapat berubah sesuai putusan pengadilan. Sebaliknya, Civil Law memberikan kepastian hukum yang lebih besar karena mengandalkan undang-undang dan kode hukum tertulis yang menyediakan panduan jelas, meskipun kurang fleksibel dalam menanggapi perubahan cepat.
Common Law, atau sistem hukum Anglo-Saxon, didasarkan pada yurisprudensi, yaitu keputusan hakim terdahulu yang menjadi dasar putusan selanjutnya. Sistem ini diterapkan di negara-negara seperti Irlandia, Inggris, Australia, Selandia Baru, Afrika Selatan, dan Kanada (kecuali Quebec). Beberapa negara, seperti Pakistan, India, dan Nigeria, mengadopsi sistem campuran yang juga mengakomodasi hukum adat dan agama.Sistem Anglo-Saxon lebih mudah diterapkan di negara berkembang karena sejalan dengan perkembangan zaman.
Di Inggris, unifikasi hukum dilakukan oleh Bench dan Bar, dan keputusan mereka sangat dihormati oleh rakyat Inggris.Sistem peradilan Civil Law bersifat inkuisitorial, di mana hakim memiliki peran besar dalam mengarahkan dan memutus perkara serta menilai alat bukti secara aktif. Sistem ini mengandalkan profesionalisme dan kejujuran hakim untuk mendapatkan gambaran lengkap dari peristiwa yang dihadapi sejak awal.
Sebaliknya, sistem peradilan Common Law menggunakan adversary system, di mana kedua pihak yang bersengketa dapat menggunakan pengacara untuk berhadapan di depan hakim. Pihak-pihak yang bersengketa dapat menyusun strategi dan mengemukakan dalil serta alat bukti sebanyak-banyaknya di pengadilan.
Implementasi di Indonesia
Indonesia mengadopsi sistem Civil Law, yang ditunjukkan dengan penggunaan undang-undang tertulis dan kode hukum untuk mengatur berbagai aspek kehidupan hukum. Ini merupakan warisan dari masa kolonial Belanda yang menerapkan sistem hukum Eropa Kontinental.
Hakim dalam sistem ini mencari rujukan peraturan yang sesuai dan bersifat aktif dalam menemukan fakta serta menilai alat bukti dengan cermat. Meskipun demikian, praktik peradilan di Indonesia telah mengadopsi beberapa karakteristik dari sistem Common Law, seperti yurisprudensi dan kebiasaan lokal. Yurisprudensi berarti keputusan hakim yang diambil berdasarkan pertimbangan dalam kasus yang belum diatur oleh undang-undang, sedangkan kebiasaan lokal adalah norma yang diakui dan diterapkan dalam masyarakat.
Menurut Prof. Mahfud, Indonesia bukanlah negara hukum yang murni berlandaskan sistem Common Law atau Civil Law, tetapi negara hukum prismatik yang mengadopsi unsur dari kedua sistem tersebut sebagai penyeimbang. Dengan demikian, meskipun Indonesia secara resmi menganut sistem Civil Law, penerapannya tidak bersifat mutlak.
Tidak ada larangan bagi suatu negara untuk menerapkan sistem hukum campuran. Sistem hukum harus mampu mengakomodasi perkembangan dalam masyarakat, sehingga penggunaan dua sistem hukum sekaligus adalah mungkin dan bahkan diperlukan untuk menyeimbangkan kebutuhan hukum yang dinamis.